Materi LAKMUD: Ahlussunnah Waljamaah II

 

Materi LAKMUD: Ahlussunnah Waljamaah II

 


A.     Tujuan Pembelajaran

1.      Peserta memahami perbedaan aswaja sebagai madzhab dan aswaja sebagai manhaj.

2.      Peserta mengetahui bentuk dan ciri-ciri golongan aswaja.

3.      Peserta mengetahui golongan selain aswaja serta ajaran yang dilaksanaknnya

4.      Mengetahui dan memahami peristiwa-peristiwa penting perkembangan NU dari masa ke masa

5.      Peserta mengetahui dan memahami pengertian khittoh NU dan dapat melaksanakan khittoh tersebut dalam kehidupan sehari-sehari

 

B.     Pendalaman Materi

1.      Pengertian Ahlussunah Wal Jama’ah

Perkataan Ahlussunnah wal jama’ah berasl dari bahasa Arab, terdiri dari kata kata: Ahlun artinya Keluarga, Famili Sunnah artinya Jalan, tabiat, perilaku kehidupan Jama’ah artinya Sekumpulan Sedangkan menurut istilah Ahlussunnah berarti penganut Sunnah Nabi s.a.w. Dan al jama’ah berarti penganut sehabat-sahabat Nabi. Sebagaimana dirumuskan oleh Syaikh Abdul Qodir Al Jilani dalam kitabnya Al Ghun-yah: Jadi yang dimaksud dengan kaum Ahlussunnah wal jama’ah ialah kaum yang menganut I’tiqod dan amaliyah Nabi Muhammad s.a.w. dan sahabat-sahabatnya. I’tiqod dan amaliyah Nabi s.a.w dan sahabat-sahabatnya telah termaktub dalam Al Qur’an dan Sunnah Rasul secara terpencar-pencar, belum tersusun rapi dan teratur. Kemudian dikumpulkan dan dirumuskan dengan rapi oleh seorang ulama besar “Syaikh Abu Hasan Al Asy’ari” (Basrah, 260-324 H).Hasil rumusan beliau itu kemudian terwujud berupa kitab Tauhid, yang dijadikan pedoman bagi kaum Ahlussunnah wal jama’ah. Karena itu kaum Ahlussunnah wal jama’ah disebut juga kaum Asy’ariyah. Imam Al Asy’ari mempunyai seorang murid yang bernama Abu Mansur Al Maturidi yang kemudian terkenal sebagai ulama dalam bidang yang sama (Ushuluddin) dan beri’tiqod Ahlussnnah wal jama’ah.Dalam bidang Furu’iyah (Fiqih) ada empat madzhab yang diakui ijtihadnya oleh umat Islam seluruh dunia dan hasil ijtihadnya itu diikuti terus menerus oleh sebagian besar ulama di seluruh dunia. Empat madzhab dalam bidang fiqih dimaksud adalah madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hambali.Bertolak dari hal tersebut, maka pengertian Ahlussunnah wal jama’ah adalah golongan umat Islam yang dalam bidang Tauhid (Ushul) mengikuti ajaran Imam Al Asy’ari dan Imam Al Maturidi, sedangkan dalam bidang fiqih (furuq) mengikuti salah satu madzhab yang empat.

2.      Sejarah Perkembangan, Bentuk, dan Ciri-Ciri Golongan Aswaja (Aswaja umum dan Aswaja An Nahdliyyah)

Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah (Aswaja) adalah salah satu aliran pemahaman teologis (Aqiedah) Islam. Selain Aswaja ada faham-faham teologi lain seperti Khawarij, Murji’ah, Qadariyah, Jabariyah dan Syi’ah. Pemahaman teologi Aswaja ini diyakini sebagian besar umat Islam sebagai pemahaman yang benar yang telah diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW kepada para sahabatnya. Kemudian secara turun-temurun faham Aswaj diajarkan kepada generasi berikutnya (Tabi’in-Tabi’it Tabi’in) dan selanjutnya diteruskan oleh generasi-generasi berikutnya sehingga sampai kepada kita. Hal ini – tentu – dapat dibuktikan melalui kajian-kajian literer keagamaan. Berkaitan dengan ini ribuan kitab dan buku telah ditulis oleh banyak ulama dan pakar/ahli.

Menurut telaah sejarah, istilah Aswaja muncul sebagai reaksi terhadap faham kelompok Mu’tazilah, yang dikenal sebagai “kaum rasionalis Islam” yang ekstrim. Kelompok ini mengedepankan pemahaman teologi Islam yang bersifat rasionalis (‘aqli) dan liberalis. Faham Mu’tazilah ini antara lain dipengaruhi oleh pemikiran-pemikiran filsafati dari Yunani.Mereka berpegang teguh pada faham Qadariyah atau freez will, yaitu konsep pemikiran yang mengandung faham kebebasan dan berkuasanya manusia atas perbuatan-perbuatannya. Artinya, perbuatan manusia itu diwujudkan oleh manusia itu sendiri, bukan diciptakan Tuhan. Di samping reaksi terhadap faham Mu’tazilah, Aswaja juga berusaha mengatasi suatu faham ekstrim yang lain, yang berlawanan faham secara total dengan kaum Mu’tazilah, yaitu faham kaum Jabariyah.di mana mereka berpendapat bahwa manusia tidak mempunyai kemerdekaan atau kuasa dalam berkehendak dan berbuat. Kehendak (iradah) dan perbuatan manusia terikat dengan kehendak mutlak Tuhan.Jadi segala perbuatan manusia itu dilakukan dalam keadaan terpaksa (mujbar). Mereka akhirnya befikir fatalistic. Mengapa? Karena kelompok ini cenderung berfikir skriptualistik sementara kelompok Mu’tazilah berfikir rasionalistik.Dalam menghadapi kedua faham yang sama-sama ekstrim tersebut, Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari (W.324 H) dan Imam Abu Manshur al-Maturidi (W. 333 H) merasa berkewajiban untuk meluruskan kedua kelompok tersebut sehingga sesuai dengan apa yang diajarkan oleh Rasulullah SAW kepada para sahabatnya.

Mereka berdua memunculkan kembali pola pikir yang mengambil jalan tengah antara kedua faham teologi yang ekstrim tersebut. Dan perlu diketahui bahwa selama 40 tahun al-Asy’ari adalah pengikut faham Mu’tazilah. Karena adanya argumentasi Mu’tazilah yang tidak benar dan ditambah dengan hasil mimpinya bertemu Nabi SAW; di mana Nabi SAW berkata kepadanya bahwa yang benar adalah mazhab ahli Hadits (al-Sunnah), bukan mazhab Mu’tazilah, maka ditinggalkanlah faham Mu’tazilah. Keduanya akhirnya ingin mengembalikan faham aqiedah umat Islam sesuai dengan apa yang diajarkan Nabi Muhammad SAW kepada para sahabatnya, dengan mengemukakan dalil-dalil naqliyah (nash-nash al-Qur’an dan Hadits) dan dalil-dalil aqliyah (argumentasi rasional). Karena faktor dari kedua tokoh tersebut, Aswaja juga dikenal dengan istilah al-Asy’ariyyun dan al-Maturidiyyun. Berkait dengan hal tersebut perlu diketahui bahwa mayoritas umat Islam di negeri kita, terlebih lagi kaum Nahdliyyin (NU), dan wilayah-wilayah Asia Tenggara lainnya, adalah Asy’ariyyun. Sebagai catatan buat kita, bahwa meskipun kedua ulama tersebut dikenal sebagai pencetus dan sekaligus pembela faham Aswaja, namun di antara keduanya ada perbedaan-perbedaan yang bersifat far’iyyah (cabang), bukan dalam masalah-masalah pokok aqiedah; Al-Asy’ari lebih condong ke faham Jabariyah sementara al-Maturidi lebih condong ke faham Qadariyah. (Alangkah baiknya bila mana kita dapat mempelajari konsep pemikiran al-Maturidi juga sehingga kita dapat memiliki pemahaman teologi Aswaja secara lebih luas).Secara ideologi politik penganut Aswaja juga sering disebut dengan “kaum Sunni”. Istilah ini sering diantonimkan dengan “kaum Syi’i”. Hal ini pada awalnya terjadi karena adanya perbedaan pandangan di kalangan para sahabat Nabi mengenai kepemimpinan setelah wafatnya Nabi. Setelah itu persoalannya berlanjut menjadi persoalan yang bersifat politik. Dari ranah yang terpolitisasikan inilah akhirnya persoalannya berkembang ke dalam berbagai perbedaan pada aspek-aspek yang lain, terutama pada aspek teologi dan fiqih. Inilah realitas sejarah perjalanan umat Islam. Dan perlu untuk diketahui bahwa mayoritas umat Islam di dunia ini adalah berfaham Aswaja (kaum Sunni). Dalam berfiqih mereka (kaum Sunni) menjadikan empat mujtahid besar, Imam Maliki, Imam Hanafi, Imam Syafi’i dan Imam Hanbali RA sebagai rujukan utamanya. Karena mayoritas ulama Asia Tenggara bermazhab Syafi’i, maka umat Islam di Indonesia, termasuk kaum Nahdliyyin, mengikuti mazhab Syafi’i.

Telah disebut di atas bahwa secara teologis kaum Nahdliyyin (warga NU) adalah bermazhab Aswaja. Artinya, mereka adalah bagian dari kaum Sunni. Dengan demikian maka secara otomatis faham teologi mereka tidaklah bersifat ekstrim, akan tetapi bersifat moderat (tengah-tengah). Jadi tidak ada warga NU, misalnya, yang terlibat kegiatan melawan Pemerintah yang sah, seperti teroris. Melalui kecerdasan-kecerdasan intelektualitas dan spiritualitas para ulama NU, terumuskanlah beberapa nilai ajaran yang luhur yang diyakini dapat membawa umatnya –baik secara individual maupun komunal – ke jalan yang benar, sejahtera lahir dan batin, selamat di dunia dan di akherat serta diridloi Allah SWT, termasuk cara kebersamaan hidup berbangsa dan bernegara yang diliputi dengan kedamaian. Di antara nilai-nilai penting yang diajarkan adalah sikap at-tawassuth, al-i’tidal, at-tawazun, at-tasamuh dan amar ma’ruf nahi mungkar.Kata at-tawassuth mempunyai arti mengambil posisi di pertengahan, kata al-i’tidal berarti tegak lurus, tidak memihak, karena kata ini berasal dari kata al-‘adl yang berarti keadilan, kata at-tawazun berarti keseimbangan, tidak berat sebelah, yakni tidak melebihkan sesuatu dan tidak menguranginya dan kata at-tasamuh mempunyai arti toleransi, yakni menghormati perbedaan pendapat dan keyakinan. Semuanya itu diintisarikan dari al-Qur’an dan Hadits/Sunnah.

Nilai-nilai tersebut diamalkan dalam pelaksanaan amar ma’ruf dan nahi mungkar yang merupakan ruh kehidupan umat dalam rangka meninggikan kalimat Allah. Inilah ciri-ciri penting yang melekat pada kehidupan kaum Sunni. Dan nilai-nilai inilah yang senantiasa disandang oleh para ulama NU semenjak kelahirannya hingga kini. Semua itu tiada lain adalah merupakan warisan para wali (pendakwah Islam) yang telah berjasa dalam penyebaran Islamdi Tanah Air kita ini.Dalam konteks ke-Indonesiaan, pola pikir NU yang didasari dengan nilai-nilai tersebut dapat dinilai sebagai suatu cara yang paling efektif, feasible, akurat dan tepat. Hal ini dimaksudkan bahwa eksistensi NU, baik secara kelembagaan (jam’iyyah/organisasi), perkumpulan (jama’ah-jama’ah), ajaran (pemahaman keagamaan) maupun kultur keagamaan dan kemasyarakatannya dapat diterima bahkan didukung dan diikuti oleh sebagian besar umat Islam Indonesia.

 

3.      Perbedaan aswaja sebagai madzhab dan aswaja sebagai manhaj

Perbincangan terkait Ahlu Sunnah Wal Jama’ah memang harus diungkap secara holistik proporsional adanya. Pemahaman Aswaja sekarang ini tereduksi dengan sistematis bahkan sangat rapi adanya. Kekuatan ide –pergolakan dunia ideseringkalibmengesampingkan perbincangan Aswaja sebagai Manhajul Fikr (metodologi berfikir) dan juga –menurut hemat penulis- sangat pas untuk dikembangkan lagi ke ranah aswaja sebagai Manhajul Hayah (metodologi dalam menjalani kehidupan).Selama ini yang kita pahami bahkan pemahaman sudah menyatu di benak kita semua bahwa Aswaja sebagai mazhab. Ini berarti dalam aqidah mengikuti Imam Abu Musa Al’asyariy dan Imam Abu Manshur Al-Maturidi, dalam fikh mengikuti salah satu Imam empat mazhab fiqh dan bertasawuf mengikuti Imam Junaidi Al Baghdadi dan Abu Hamid Al Ghazali. Terkesan simpel, sederhana bahkan ringan sekali term Aswaja. Memang diakui atau tidak, Aswaja sebagai mazhab sudah menjadi hal biasa dikalangan ulama’ sepuh, kyai khosh dan sederet Alim ulama’ lainnya.

Wajib hukumnya bahwa Aswaja sangatlah moderat dalam berbagai lini kehidupan bahkan dengan Aswaja lah, mampu mengembangkan sayap keislaman, nilai-nilai Islam kepada seluruh segenap ummat beragama dan menunjukkan bahwa Aswaja sebagai representasi dari Islam sangatlah dinamis, maju, progresif dan menjunjung tinggi toleransi dengan ummat beragama lainnya.Pada mulanya, perbincangan Aswaja baru muncul pada akhir dasawarsa 1980-1990 dan semakin hangat diperdebatkan adanya. Awalnya, gejolak terkait konsep Aswaja dikaitkan dengan sebuah pertanyaan sederhana tetapi mempunyai jawaban yang kompleks, yaitu kenapa Aswaja menghambat perkembangan intelektual masyarakat? Biasanya pertanyaan ini dimulai dengan istilah yang sangat populer Limadha Ta’akhoro Al Muslimun wa Taqaddamal Akharun? Diskusi terhadap doktrin ini lalu sampai pada kesimpulan bahwa kemandegan berfikir karena kita mengadopsi mentah-mentah paham Aswaja secara qoulan (kemasan praktis pemikiran aswaja). Lalu dicobalah membongkar sisi lain, yaitu Aswaja sebagai Manhajul Fikr beserta komponennya. Cara berfikir yang memegang prinsip Tawassuth (moderat) Tawazun (keseimbangan) Tasammuh (toleransi) dan Ta’adul (bersifat tidak memihak dengan yang lain).

Keempat elemen ini diharapkan mampu mengantarkan generasi Muslim, generasi Islam untuk bersikap dalam beragama tidak ekstrimisme, fundamentalisme, konservatisme dan kolot serta tidak memihak aliran kiri maupun kanan.Sampai saat ini memang belum ada pengertian yang lebih epistemologis (Nadhariyatul Ma’rifah) yang mampu mendefinisikan Aswaja secara tuntas dan menyeluruh. Kalaupun istilah Aswaja sering disebut dalam buku-buku klasik maupun dalam wacana pengajaran agama di pesantren, biasanya itu semata-mata demi menyederhanakan cara penyebutan dan kepraktisan saja. Begitu pula terminologi yang sudah berlaku dikalangan Nahdliyin saat ini juga masih memerlukan penyempurnaan.Ini bukan berarti bahwa pengertian yang kita anut keliru bahkan salah. Sekali lagi tidak! Namun pengertian Aswaja yang ada selama ini masih dibatasi oleh mazhab-mazhab tertentu.Secara logika, definisi yang selama ini kita fahami tidaklah memenuhi kaidah umum dalam peristilahan. Bagaimana mungkin demikian? definisi tentang Aswaja itu tampak mempertemukan sejumlah hal yang saling kontradiktif bahkan Aswaja dalam fiqh mengikuti mazhab ini, akidah ini, dan taswuf ini berarti ghairu Jami’ wa mani’. Begitu pula kita yakini bahwa Aswaja sebagai mazhab. Bagaimana mungkin dalam suatu mazhab mengandung beberapa mazhab? Walhasil, Aswaja itu sebenarnya bukanlah mazhab melainkan hanyalah manhajul fikr atau paham saja yang didalamnya masih memuat banyak aliran dan mazhab.Perbincangan Aswaja memang tidak bisa dilepaskan begitu saja dengan tempat lahirnya Islam itu sendiri bahkan lebih jauh lagi, banyak kalangan ulama’ sangat mengelu-elukan bahwa Aswaja model idealnya sama persis dengan zaman Islam bangkit.

Aswaja erat kaitannya dengan kultur bangsa Arab yang sangat heterogen bahkan multikulturalisme. Banyaknya ras, etnis, agama, budaya dan bahasa menjadi hal penting wajib diketahui untuk mengkaji Aswaja secara historis. Bangsa Arab adalah bangsa yang terdiri dari beraneka ragam suku dan kabilah yang biasa hidup secara peduli. Wataknya sulit bersatu bahkan sulit menemukan titik temu kesatuan menjadi hal biasa dalam bangsa Arab bahkan impian untuk bersatu antar satu suku dengan yang lain hampir bisa dipastikan mustahil adanya.

Aswaja sebagai manhajul fikr dan atau manhajul harokah Setelah mengetahui garis besar perbedaan bangsa Arab, khususnya latar belakang sosial-politiknya, maka Aswaja dihadapkan dengan dunia modern yang penuh dengan ramburambu agama. Aswaja datang dengan penuh spirit kebangkitan sekaligus mampu menjawab polemik keagamaan yang sekarang tengah datang dengan cepat tanpa memandang agama apapun.Aswaja selalu bisa beradaptasi dalam segala benturan zaman maupun kondisi. Itulah salah satu prinsip dan watak aswaja.Posisi tawassut atau moderat tentu bukanlah hal yang  final bahkan harga mati tetapi jalan tengah ini moderat bisa diibaratkan dengan titik tengah biji kelereng yang bulat.Makin besar bulatannya, titik tengahnya pun kian besar pula.Demikikian pula konsep moderat tersebut, makin berkembang daya jangkuannya dan potensinya mengikuti arus zaman.Untuk dapat merealisasikan gagasan Islam Rahmat seluruh alam, maka dipandang perlu Aswaja menggunakan empat komponen dasar yang selama ini diadopsi seluruh ummat Islam Indonesia. Di sisi lain, empat komponen inilah menjembatani keadaan yang terus mengalami metamorfosis dan pastinya keadaan selalu terus berbeda dan perlu konsep tegas, transformatif, inovatif dan mampu menjadi jalan tengah dalam menjawab problematika dimensi sosial kemasyarakatan. Diantaranya:

a.       Tawassuth

Tawassuth berasal dari kata Wasatho artinya tengah. Hal ini berarti dalam memahami segala bentuk ajaran Islam senantiasa berpedoman dengan nilai-nilai kemoderatan. Nilai kemoderatan inilah nantinya membawa pemahaman menuju Islam yang benar tanpa harus mengklaim saudara-saudaranya kafir, murtad dan sejenisnya hanya semata-mata tidak setuju dengan apa yang diusungnya. Tawassut merupakan landasan dan bingkai yang mengatur bagaimana seharusnya kita mengarahkan pemikiran kita agar tidak terjebak pada pemikiran agama an sich.Dengan menggali dan meelaborasi dari berbagai metodologi dari berbagai disiplin ilmu baik dari Islam dan Barat serta mendialogkan dengan agama, filsafat dan sains.

b.      Tawazzun

Tawazun mempunyai makna seimbang. Hal ini berarti setiap jengkal langkah dalam sendi kehidupan beragama senantiasa menggunakan prinsip keseimbangan dalam pemecahan setiap permasalahan yang muncul. Seimbang dalam menjalin hubungan dengan Allah, seimbang dalam menjalin hubungan dengan sesama manusia, seimbang dalam menjalin hubungan dengan alam. Dengan sikap seimbang inilah nantinya akan menemukan esensi Islam yang sebenarnya. Dalam konteks tawazzun ini bisa di implementasikan ke dalam ranah negara dan bangsa. Bagaimana kita bergaul dan berhubungan dengan individu, masyarakat dengan masyarakat, negara dengan rakyatnya maupun manusia dengan alam.

c.       Tasamuh

Tasamuh mempunyai makna toleransi. Artinya, Allah telah menciptakan manusia bermacam-macam suku, agama, ras sehingga dalam menyikapi persoalan kita senantiasa menggunakan prinsip toleransi. Dengan menggunakan prinsip inilah kita mampu memahami perbedaan sebagai Sunnatullah dan tidak terpecah belah dalam perbedaan. Yakinlah bahwa menghormati terhadap perbedaan terhadap sesama manusia walaupun berbeda agama tidak akan berdosa dan yakinlah bahwa mengejek, menghina dan mengucilkan manusia walaupun itu non Islam tetaplah berdosa. Dan dalam point ini cenderung untuk mengedepankan sifat pluralis dalam beragama.

d.      Ta’adul

Ta’adul akar kata dari lafad Adala yang mempunyai arti adil, bersifat adil, tidak memihak. Dalam kehidupan bermasyarakat pastilah banyak problematika menghadang meskipun besar dan kecil. Dengan masalah itulah, bagaimana pijakan gerakan kita mampu mencerminkan sifat adil tanpa harus membela tangan kanan maupun tangan kiri. Setiap pemikiran, gerakan, moral bahkan kebijakan sekalipun harus mengedepankan sifat adil di berbagai aspek kehidupan maupun negara. Aspek sosial, negara, syariah, ekonomi, budaya, pendidikan dan hal lainnya harus disikapi dengan fikiran jernih –adil- sehingga mampu mengembangkan sayap nilai Islam menuju nilai peradaban tinggi dan unggul dalam mengikuti zaman.Empat komponen di atas haruslah berjalan bersamaan dan haram hukumnya jika hanya menggunakan salah satu komponen belaka. Kalau pun demikian, pastilah output yang dihasilkan akan miring, tidak seimbang dan berat sebelah dalam menyikap masalah keagamaan dan kehidupan yang amat sangat kompleks sekalipun. Dengan menggunakan pendekatan di ataslah.

 

4.      Mengapa kaum muslimin harus bermazhab (Pengertian madzhab, Ittiba, Taqlid, Ijtihad dalam NU)

Menurut rumusan Syaikh Abdul Qodir Al Jailani mengenai ta’rif Ahlussunnah wal jama’ah, maka dapat kita fahami, bahwa bagi umat Islam dewasa ini harus mengikuti para ulama Ahlussunnah wal jama’ah (Ulama Mujtahidin) yang meneruskan I’tiqod amaliyah Nabi s.a.w. dan sahabatsahabatnya, yang mengambil hukum-hukum dari Al Qur’an, Hadist, Ijma’, dan Qiyas. Tidak boleh langsung dari Al Qur’an dan Hadist, karena banyak ayat-ayat Al Qur’an dan hadist yang tampak satu sama lain bertentangan. Oleh karena itu kita tidak berani menetapkan hukum dengan mengambil langsung dari Al Qur’an dan Hadist Nabi s.a.w. Sebab kita tidak boleh menfsirkan Al Qur’an dengan ra’yu (pendapat sendiri).Tegasnya, dalam menetapkan hukum kita harus berdasar pada kitab-kitab para ulama yang bahan-bahannya diambil dari Al Qur’an dan Hadist Nabi yang telah di racik dan dimasak oleh ulama ahli tafsir. Sampai di sini dapat kita simpulkan, bahwa kaum muslimin harus mengikuti (taqlid) pada salah satu dari empat madzhab.

a.       Pengetian Madzhab

Mazhab berasal dari kata dhahabayadhabu-dhahaban yang artinya jalan yang dilalui dan dilewati yang menjadi tujuan seseorang. 2 Ulama fikih berbeda dalam mendefinisikan mazhab secara istilah. Wahbah Zuhaili memberi batasan mazhab sebagai segala hukum yang mengandung berbagai masalah, baik dilihat dari aspek metode yang mengantar pada kehidupan secara keseluruhan maupun aspek hukumnya sebagai pedoman hidup.Istilah mazhab sering juga digunakan dalam banyak disiplin ilmu. Misalnya ilmu kalam. Ilmu tersebut dipelajari berbagai mazhab dan aliran, seperti Asy„ariyah, Maturidiyah, Jabbariyah, Qadariyah, Syi’ah, Khawarij dan lainnya. Mazhab dapat juga diartikan sebagai aliran, kepercayaan atau sekte. Mazhab dipakai juga dalam permasalahan Tasawuf, Nahu, Saraf, dan Iainlain. Mazhab dalam kamus besar Indonesia sudah diindonesiakan yang artinya yaitu haluan, aliran mengenal hukum Islam.

b.      Pengertian Ittiba’

Ittiba` secara bahasa berarti iqtifa` (menelusuri jejek), qudwah (bersuri teladan) dan uswah (berpanutan). Ittiba` menurut istilah menerima perkataan atau ucapan orang lain dengan mengetahui sumber atau alasan dari perkataan tersebut, baik dalil Alquran maupun hadis yang dapat dijadikan hujjah / alasan. Sedangkan orang yang mengikuti dengan adanya dalil, dinamakan muttabi`. Firman Allah swt. Dalam surah An-Nahl ayat 43 yang artinya:

Maka tanyakanlah olehmu kepada orang yang tahu jika kamu tidak mengetahuinya

Dalam ayat pertama terdapat kalimat “tanyakanlah” yaitu suatu perintah yang memfaedahkan hal yang wajib untuk dilakukan. Maksudnya kewajiban kamu bertanya kepada orang yang tahu berdasarkan dari kitab dan Sunnah. Sedangkan pada ayat kedua terdapat pula kalimat “turutilah” yaitu suatu perintah, yang tiap-tiap perintah wajib untuk dilakukan.Sabda Rasulullah Saw:

Wajib turuti sunnahku atau caraku dan sunnah Khulafaur Rasyidin sesudahku”. (H.R.Abu Dawud dan lainnya).

Dengan adanya Ittiba` diharapkan agar setiap kaum muslimin, sekalipun ia orang awam, ia dapat mengamalkan ajaran agama Islam dengan penuh keyakinan, tanpa diselimuti keraguan sedikitpun. Suatu ibadah atau amal jika dilakukan dengan penuh keyakinan akan menimbulkan keikhlasan dan kekhusukan.Keikhlasan dan kekhusukan merupakan syarat sahnya suatu ibadah atau amal yang dikerjakan.Ada dua jenis Ittiba’ Pertama Ittiba kepada Allah dan Rasulnya, Ulama sepakat bahwavseluruh kaum muslimin wajib mengikuti segala perintah Allah Swt. dan menjauhi larangan-Nya.“ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu, dan jangan kamu ikuti selain Dia sebagai pemimpin. Sedikit sekali kamu mengambil pelajaran. (QS. al-A`raf 7: 3). Kedua, Ittiba’ selain kepada Allah dan Rasulnya, Ulama berbeda pendapat tentang ittiba` kepada ulama atau para mujtahid. Imam Ahmad bin Hanbal menyatakan bahwa ittiba` itu hanya dibolehkan kepada Allah dan Rasul-Nya, dan para sahabatnya saja. Tidak boleh kepada yang lain. Hal ini dapat di ketahui melalui perkataan beliau kepada Abu Dawud, yaitu : “Berkata Daud, aku mendengar Ahmad berkata, Ittiba` itu adalah seorang yang mengikuti apa yang berasal dari Nabi Saw. dan para sahabatnya.

c.       Pengertian Taklid

Kata taklid secara bahasa berasal dari kata qallada-yuqallidutaqlidan, mengandung arti mengalungi, menghiasi, meniru, menyerahkan, dan mengikuti. Taklid juga dapat didefinisikan sebagai menerima pendapat orang lain dengan tidak manpu mengemukakan alasannya.Seseorang yang bertaklid seolah-olah menggantungkan hukum yang diikutinya dari seorang mujtahid.Sedangkan menurut istilah, taklid Ulama berbeda redaksi dalam mendefinisikan taqlid Definisi taqlid yang diambil oleh mayoritas ulama ushul fiqh, yaitu “Menerima/mengikuti perkataan orang lain dengan tidak bersifat hujjah”. Seperti orang awam mengikuti perkataan seorang mujtahid dalam beragama.Sedangkan jika perkataan yang diambil merupakan perkataan Rasulullah Saw. atau perkataan ulama yang telah menjadi ijma’, maka ia bukanlah sebuah taqlid. Sebab perkataan-perkataan tersebut merupakan hujjah.Berkaitan dengan taklid pada mazhabmazhab fikih yang sifat amaliyah adalah hal yang masih dipeselisihkan oleh para ulama.Perbedaan pandangan ulama dalam hal ini dapat dijelaskan berikut ini:

a.       Bertaklid tidak dibolehkan dalam bentuk apapun, karena yang diwajibkan adalah berijtihad dan meneliti.Dengan demikian pada tiap orang mukallaf diwajibkan untuk berijtihad dengan kemampuan yang dimilikinya.Pendapat ini diungkapkan oleh Ibn Hazm dalam kitab al-Ihkam fi Usuli al-Ahkam, bertaklid haram dan tidak dibolehkan mengambil perkataaan orang lain tanpa dalil.

b.      Berijtihad tidak dibolehkan setelah periode Imam–Imam mazhab dan harus bertaklid kepada mereka. Ini pendapat Hasywiyah.

c.       Bertaklid tidak dibolehkan bagi orang mampu berijtihad dan bertaklid dibolehkan bagi orang yang tidak mampu berijtihad, pendapat ini adalah pendapat dianggap sahih oleh ulama-ulama mazhab.

d.      Ijtihad dalam NU

Berdasarkan sejarah, istilah ijtihad pada mulanya dipergunakan untuk mengungkapkan sebuah upaya penalaran dan pemikiran yang mendalam tentang suatu persoalan yang membutuhkan pemecahan hukum. Ijtihad masih dipahami sebatas pertimbangan bijaksana yang adil atau pendapat seorang ahli serta belum terdefinisikan dan terumuskan dalam metode-metode tertentu. Secara etimologis berarti bersungguh-sungguh atau berusaha keras.Kata ijtihad dalam sintaksis Arab mengikuti wazan ifti’al yang menunjukkan arti mubalagah dalam suatu tindakan atau perbuatan.Sedangkan pengertian terminologisnya, ada beberapa rumusan yang dikemukakan oleh para ulama, antara lain:

1.      Menurut Imam As Syaukani: “Mengerahkan kemampuan dalam memperoleh hukum syar’i yang bersifat amali melalui cara istinbat.”

2.      Menurut Imam Al Ghazali: “Usaha sungguh-sungguh dari seorang mujtahid untuk mengetahui hukum-hukum syariat”

3.      Menurut kebanyakan ahli usul: “pencurahan kemampuan secara maksimal untuk mendapatkan sesuatu hukum syara’ yang sifatnya zanniy Adapun dasar hukum ijtihad cukup banyak, baik berdasarkan ayat-ayat Alquran maupun Sunnah dan juga dalil aqli. Di antara ayat-ayat Alquran yang menunjukkan/menyuruh ijtihad adalah surah an-Nisa ayat 105. Maknanya:

sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu al-Kitab dengan benar agar engkau menetapkan di antara manusia dengan jalan yang telah ditunjukkan oleh Allah kepadamu.”

Di antara Sunnah yang menunjukkan boleh berijtihad adalah hadis yang diriwayatkan oleh Umar ra. Maknanya:

jika seorang hakim menetapkan hukum dengan ijtihadnya dan benar maka dia mendapat dua pahala dan bila salah maka ia mendapat satu pahala.

Dari segi dalil aqli dikemukakan sebagai berikut: Kehidupan umat manusia tambah maju dan semakin kompleks, sehingga muncul berbagai kasus baru, sedang penetapan hukumnya tidak ditemukan secara tegas dalam Alquran maupun dalam Hadis.Apabila ijtihad tidak diperbolehkan tentu terlalu banyak kasus yang tidak mendapat penyelesaian hukum dan kita yakin bahwa syariat Islam tidak membolehkan penganutnya mendiamkan kasus-kasus tersebut.

 

5.       Bentuk Dan Ciri-Ciri Golongan Aswaja

Untuk mengetahui siapa yang tergolong Ahlussunnah wal jama’ah, kita perlu mengingat kembali pengertian Ahlussunnah wal jama’ah, yaitu mereka yang mengikuti Sunnah Rasul dan I’tiqod para sahabat. Mereka mengikuti I’tiqod, amal ibadah, serta perjuangannya untuk menjunjung tinggi agama Islam dan umatnya. Mereka itulah yang akan mendapatkan keridloan Allah SWT. dan mendapatkan kebahagiaan yang besar di akhirat kelak.Mereka yang tegolong dalam dalam Ahlussunah wal jamaah ini dapat di rinci menjadi beberapa kelompok, sebagaimana keterangan Syaikh Abdul Qodir Al Baghdadi dalam kitabnya Al Farqu bainal Firoq yang diberi taklid oleh Muhammad Muhyiddin Abdul Hamid, dalam bab Ahlussunah Wal Jamaah menjelaskan bahwa kelompok-kelompok dalam Ahlussunah wal jama’ah ada delapan, yang garis besarnya sebagai berikut:

1.    Golongan ulama dibidang Tauhid dan Kenabian, hukumhukum janji dan ancaman, pahala dan dosa, syarat-syarat ijtihad, imamah dan za’amah. Juga ulama mutakallimin yang bebas dari segala penyelewengan hawa nafsu dan kesesatan.

2.    Kelompok imam-imam ilmu fiqih, baik kelompok ahli hadist maupun kelompok ahli ro’yi yang didalam usuluddin memprcayai madzhab-madzhab sifatiyyah tentang Allah di dalam sifat-Nya yang azali, dan bebas dari pendirian Qadariyah dan Mu’tazilah.

3.    Kelompok yang mengerti tentang khabar-khabar dan sunnah-sunnah Nabi SAW dan pandai membedakan antara yang shohih dan yang tidak shohih serta tidak mencampurnya sedikitpun.

4.    Kelompok yang ahli dalam bidang adab (Kesusastraan Arab), nahwu, shorof dan mengikuti jalan-jalan yang ditempuh oleh tokoh-tokoh ahli bahasa, seperti al Kholil, Abu Amr bin Al A’la, Imam Sibawaih, Al Farra, Al Akhfashy, Al Asmu’i, Al Mazini, Abu Ubaid dan semua ahli nahwu baik dari Basrah maupun dari Kufah, yaitu mereka yang tidak mencampuri faham-faham Ahlussunnah wal jama’ah.

5.    Kelompok yang ahli dalam berbagai bacaan Al Qur’an, Tafsir ayat Al Qur’an serta ta’wil-ta’wilnya, sesuai dengan madzhab Ahlussunnah wal jama’ah.

6.    Kelompok orang-orang zuhud dari kalangan sufi, yaitu mereka yang telah mendapatkan basirah lalu bersikap sederhana dan berusaha mendapatkan khabar dan berita, tetapi setelah itu mereka melakukan I’tibar ridlo dengan apa yang ditentukan dan apa yang mudah diperoleh.

7.    Kelompok perjuang-pejuang Islam dalam menghadapi orang-orang kafir, berjuang melawan musuh-musuh kaum muslimin dan melindungi benteng-benteng pertahanan kaum muslimin serta melindungi keluarga besar kaum muslimin ala Ahlussunnah wal jama’ah.

8.    Kelompok rakyat (awam) yang beri’tiqad pada pendirian yang benar dari ulama Ahlussunnah wal jama’ah didalam bab-bab keadilan dan tauhid, janji dan ancaman, dan mereka kembali pada ulama ini dalam pengajaran agama dan mengikutinya dalam segala macam yang menyangkut halal haram dan terhindar dari I’tiqad ahli hawa nafsu dan ahli kesesatan.Itulah mereka yang tergolong dalam Ahlussunnah wal jama’ah dan keseluruhannya merupakan pemilik agama yang lurus.Merekalah yang mendapatkan jaminan untuk masuk surga.

 

6.      Timbulnya Golongan Ahlussunnah Wal Jama’ah

Semua agama besar di dunia pernah mengalami nasib yang sama yaitu umatnya akan terpecah dalam beberapa aliran atau golongan, yang masing-masing mempunyai kepercayaan yang berlainan. Di dalam hadist Rosululloh SAW yang diriwayatkan Imam Thobroni Beliau bersabda bahwa: Kaum Yahudi akan terpecah menjadi 73 firqoh, Kaum Nasrani 72 firqoh, sedangkan umatku akan terpecah menjadi 73 forqoh. Yang selamat di antara mereka hanya satu, sedangkan yang lainnya celaka. Siapakah yang selamat itu Ya Rosul? Nabi menjawab: Ahlussunnah wal jama’ah. Sahabat bertanya lagi: Apakah Ahlussunnah wal jama’ah itu? Nabi menjawab: Orang yang mengamalkan apa yang aku perbuat dan para sahabatku.Menurut sebagian ulama, firqoh yang sesat dan binasa itu terbagi dalam 7 kelompok:

1.Kaum Syi’ah 22 Aliran

2.Kaum Khawarij 20 Aliran

3.Kaum Mu’tazilah 20 Aliran

4.Kaum Murjiah 5 Aliran

5.Kaum Najjariyah 3 Aliran

6.Kaum Jabariyah 1 Aliran

7.Kaum Musyabihah 1 Aliran Jumlah 72 Aliran

Sedangkan sebagian ulama lain, firqoh yang sesat itu terbagi dalam 6 (enam) golongan yang masing-masing terpecah menjadi 12 bagian. Enam golongan tersebut adalah:

1.Kaum Khawarij

2.Kaum Jabariyyah

3.Kaum Rofidloh

4.Kaum Qadariyah

5.Kaum Musyabihah

6.Kaum Mu’attilah

Empat Golongan Khawarij mempunyai I’tiqad ingkar kepada sabahat Ali ra. Mereka berani mengkafirkan sahabat Ali dan membunuhnya. Mereka juga beri’tiqad bahwa orang yang melakukan dosa besar menjadi kafir.Empat golongan Syiah dalam mahabbah dan menghormati Sahabat Ali ra. Melampui batas, sehingga beri’tiqad bahwa yang berhak menjadi khalifah pertama adalah Sahabat Ali.Empat Golongan Murjiah beri’tiqad bahwa yang terpenting beriman, walaupun melakukan dosa besar tidak apa-apa.Empat Golongan Jabariyyah beri’tiqad bahwa manusia tidak bisa berikhtiyar apa-apa, ibadah atau tidak, masuk syurga atau nereka semua terpaksa. Mereka juga beri’tiqad bahwa ilmu Allah itu hadist.Empat Golongan Musyabihah beri’tiqad bahwa Allah berjisim.Empat Golongan Mu’tazilah beri’tiqad bahwa Allah tidak menciptakan amal perbuatan manusia, sebaliknya manusia sendirilah yang menciptakan amalnya. Bahwa Allah tidak punya sifat jaiz. Juga beri’tiqad bahwa Al Qur’an itu hadist, bahwa syurga dan neraka belum terwujud, dan bahwa orang-orang mukmin tidak mungkin dapat melihat Allah besuk di akhirat.Empat Golongan Najriyah beri’tiqad bahwa Allah tidak Qidam, bahwa Kalamulloh hadist. Sebagai reaksi dari timbulnya rirqoh-firqoh tersebut, muncullah golongan Ahlussunnah wal jama’ah pada abad 3 H. dipelopori oleh Syaikh Abu Hasan Al Asy’ari dan Syaikh Abu Mansur Al Maturidi. Akhirnya Ahlussunnah wal jama’ah disebarkan ulama-ulama lain ke seluruh penjuru dunia.

 

LihatTutupKomentar